Rabu, 09 Februari 2011

Jomblo Bahagia

Umur 25 masa nggak punya pacar. Udah ntar gw kenalin sama temen gw,”
ucap Fathan temanku semenjak SMP itu.
“Lah, emang kenapa? Emang penting punya pacar?” sahutku cuek. Hidup
akan lebih hidup apabila tanpa pacar. Pacar hanya bisa menyusahkan.
Ribet, banyak aturan. Mesti begini, harus begitu. Punya temen cowok,
dicemburuin. Sms enggak dibales, ngamuk-ngamuk. Bikin pusing kepala.
Lebih baik begini, tanpa pacar, tanpa aturan.
“Udah Than, kamu kenalin aja sama temenmu. Umur udah 25 nggak punya
pacar. Aku yang malu.” Ibuku yang tadinya hanya numpang lewat, ikut
berkomentar.
Aku garuk-garuk kepala. Ibuku ratu ribet. Yang nggak punya pacar kan
aku, tapi kenapa ibuku yang malu?”
Nggak mengerti.
“Iya bu, temenku udah mapan. Udah punya rumah.” Promosi Fathan minta
disambit rupanya.
“Wah, bagus-bagus. Kamu kenalin aja. Ibu dukung itu, ibu setuju.”
Aku terjungkal. Ibu-ibu zaman sekarang, matre.
“Kandang ayam bu maksudnya,” celetukku asal.
Pletak!!! “Aduh!” Aku dipukul koran oleh ibuku. “Kamu kalo dikenalin
sama laki-laki ya mbok mau. Ibu takut kamu jadi lesbian.”
Masya alloh….!!! Sungguh kejam fitnah ibuku. Sungguh terlalu…
Aku kurang normal apalagi? Buktinya aku masih paham kalo Lee Min Ho itu ganteng!
“Rugi bu kalo aku lesbian. Masih banyak cowok ganteng, sayang kalo
nggak dicobain.”
“Ya makanya punya pacar,” semprot ibuku. “ Udah Than, kamu kenalin aja
sama temenmu. Kalo sampe anggie nggak mau. Biar ibu telanjangin, ibu
gantung di depan rumah.”
Aku mendengus sebal. Nasibku…
                                                       ***
Kenapa sih Ibu-ibu selalu repot apabila anaknya yang sudah beranjak
dewasa belum menikah bahkan memiliki pacar? Apakah pernikahan itu
symbol dari kebahagiaan? Apakah dengan adanya pernikahan kita bisa
terhindar dari masalah?
Dari Facebook, dari status teman-temanku yang sudah menikah
memperlihatkan bahwa pernikahan tak seindah yang dibayangkan. Akan
banyak pertengkaran disana. Banyak konflik, banyak perbedaan, semakin
banyak tuntutan dan semakin besar pula tanggung jawabnya.
Aku tidak mau menikah hanya karena ingin menghindari masalah atau
karena merasa bosan mendengar omelan Ibu setiap hari. Tapi aku mau
menikah karena memang aku mau menikah. Karena aku merasa sudah siap
dalam segala hal. Batin maupun financial.
Tapi ternyata alasanku tidaklah cukup untuk membuat ibu berhenti
memaksaku untuk mau dikenalkan  dengan teman Fathan itu. Kepalaku
rasanya mau pecah. Tapi aku juga tidak mau mengecewakan ibu. Maka,
terpaksa dengan setengah hati dan setengah harga (aku terlalu mahal
untuk didekati cowok. Emang aku cewek apaan?) aku mau dikenalkan
dengan teman Fathan.
Hanya lewat sms dan telepon perkenalan kami. Kami belum sempat
dipertemukan secara langsung. Aku juga belum tahu seperti apa
wujudnya. Tapi siapa juga yang peduli? Aku hanya peduli kalo Lee min
ho itu ganteng. Titik.
Hi Nggie… lg ngapain? Isi smsnya.
Lagi ngapain? Argh…basi banget. Sms standar setiap orang yang sedang
pdkt ataupun pacaran.
Lg nyangkul, balasku…
Hehehe…km lucu deh…
Km jg lucu. Ky sule!
Hehehe…bs aja
Kulempar hpku, malas membalasnya lagi.
Hari-hari berikutnya sms masih terus berlanjut. Tapi seperti biasa,
aku enggan untuk membalasnya. Sedangkan telpon sudah tak pernah lagi.
Aku malas mengangkatnya. Cowok selalu seperti itu, raja gombal.
Hobinya hinggap di banyak kembang, setelah berhasil menghisap madunya
lantas ditinggal.
Hai cowok-cowok, kami para wanita juga memiliki hati. Janganlah seperti itu…
Aku udah ga sbr deh nunggu sabtu dpn. Tp km jd ikut kan?
Sabtu depan Fathan mengadakan acara ngumpul-ngumpul di rumahnya. Dan
acara tersebut juga digunakan sebagai ajang untuk mempertemukan aku
dengan temannya. Aku sama sekali tidak tertarik. Lebih baik tidur
seharian di rumah daripada mengikuti acara datuk maringgih dan siti
nurbaya.
Karena aku tidak membalas, maka dia sms lagi.
Km udh mkn blm? Mkn dl nanti skt.
Pertanyaan sangat-sangat STANDAR.
Udh. Nambah td mpe 5x. Balasku, sengaja membuatnya ilfeel. Cowok pasti
takut melihat perempuan makannya banyak. Takut menghabiskan jatah
beras nantinya.
Wah bgs dong. Aku malah seneng. Biar km sehat.
Toeng weng!!! Rada-rada nih cowok…
Biasanya sih nambah mpe 10 piring. Tp demi km aku diet
 Gara-gara kamu aku tersiksa, itu realitanya.
Ih, so sweet bgt. Aku jd ga sbr pgn ktmu
CAPE DEH…
                                                           ***

Hari sabtu seperti yang direncanakan, kami bertemu. Dia datang dengan
pakaian yang super rapi dan super wangi. Sedangkan aku ala kadarnya.
Pada saat pertemuan itu, dia diam saja. Tidak secerewet ketika disms.
Seharian itu dia lebih sibuk dengan PSnya. Aku sama sekali tidak
disapanya. Aku juga tidak peduli.
Acara pertemuan  berlalu begitu saja. Tidak ada obrolan sama sekali.
Aku pulang dengan hati yang biasa-biasa saja. Tidak ada bunga di sana.
Sangat biasa.
Tapi semua harus berubah ketika sampai di rumah. Ibuku yang ratu ribet
itu mulai menyodorkan pertanyaan-pertanyaannya…
Gimana tadi, orangnya ganteng nggak? Kamu ngobrol apa aja? Trus-trus
ada kelanjutannya nggak?
Kujawab sekali, ibuku bertanya lagi. Kujawab lagi maka omelanlah yang terjadi.
“Kamu makanya agresif jadi orang. Dandan. Jangan berantakan gitu
penampilannya. Dia udah sms lagi belom?” Tanya Ibuku memarahi.
“Belom.”
“Kamu sms cepetan. Agresif jadi orang. Kalo dia diem aja, kamu yang
ngajak ngobrol duluan. Jangan diem begitu,” omelnya panjang lebar.
“Jangan-jangan bener kamu lesbi.”
JEDER!!!! Rasanya aku mau menangis mendengar ibu mengatakan itu.
Sungguh tega. Aku memang hampir tidak pernah terlihat berpacaran
olehnya, tapi bukan berarti aku seperti itu. Aku masih mengerti
rasanya menyukai cowok. Masih paham rasanya patah hati jika cowok yang
kusukai ternyata sudah memiliki pacar. Aku tahu semua
perasaan-perasaan seperti itu. Janganlah ibu meragukannya.. Karena aku
akan merasa sakit jika mendengarnya…
I hal yang mungkin ibu tidak ketahui. Bahwa tidak memiliki pacar bukan
berarti tidak normal. Akan ada banyak alasan di sana. Dan salah
satunya adalah Aku belum menemukan pria yang cocok denganku. Itu saja,
selama ini yang aku lihat, pria lebih banyak menyakitkan hati. Dan aku
benci itu.
Tapi demi membahagiakan ibu, kubuang jauh-jauh keegoisanku. Aku mulai
menghubungi Kevin, teman Fathan itu terlebih dahulu. Awalnya masih
biasa-biasa saja, tidak ada yang berubah. Tapi hatiku terasa sakit.
Aku sakit hati ketika aku menceritakan padanya bahwa Fathan dan ibuku
sangat bersemangat dan terus menerus mempertanyakan tentang perkenalan
itu. Dan dijawab seperti ini olehnya…
Mrk knp sih? Pdhal kita kan cm tmn…
Semenjak itu aku tidak pernah menghubunginya lagi. Aku cukup paham apa
maksud dari kalimatnya itu. Dan seperti itulah cowok. Mereka akan
sangat gencar mendekati cewek yang belum pernah ditemuinya. Namun
ketika sudah bertemu dan ternyata perempuan yang dia dekati itu dari
segi fisik tidak seperti harapannya maka dia bisa meninggalkannya
begitu saja.
Berbeda dengan wanita, yang lebih melihat kaum pria dari tingkat
kenyamanan, perhatian, dan kesetiaannya. Dia tidak terlalu peduli
apakah pacarnya itu ganteng ataupun jelek. Namun, bisa sangat membabi
buta apabila pacar tercintanya itu ketahuan berselingkuh.
Kuceritakan jawaban Kevin itu kepada Ibu. Ibu mulai paham sekarang.
Dan tidak pernah lagi memaksaku untuk mencari pacar. Entah kenapa ibu
bisa berubah sedemikian drastis. Dia hanya mengatakan “Mungkin itu
rencana Tuhan. Kamu sabar aja.”
Setiap orang memiliki pola pikir, kebutuhan dan rencana yang
berbeda-beda. Ada yang sudah siap untuk menikah di usia muda, ya
silakan saja. Semonggo Kerso. Tapi aku, aku belum terpikir ke arah
sana karena memang aku belum siap dan masih banyak hal di depan yang
masih ingin kukejar. Aku masih ingin belajar banyak hal.
Aku masih ingin puas dengan masa lajangku ini, karena ketika menikah
nanti itu semua belum tentu bisa lagi aku nikmati. Sahabat-sahabatku,
cita-citaku, kebebasanku. Semua hal akan memiliki porsi yang
berbeda-beda ketika menikah nanti. Dan saat ini aku masih terlalu
egois untuk membaginya ataupun menguranginya.
Seperti novel dewi pravitasari berjudul being 20 something is hard,
bahwa usia 20 hingga 29an adalah usia dimana para wanita akan
mengalami krisis dalam hidupnya. Krisis ingin mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik. Krisis mendapatkan hidup yang lebih baik. Krisis
mendapatkan pasangan hidup yang baik, dan sebagainya tanpa harus
bersusah payah.
Itu semua normal. Semua wanita di usia-usia tersebut pasti mengalaminya.
Tapi jangan biarkan krisis yang kita alami itu membuat kita menjadi
seseorang yang salah dalam mengambil keputusan. Buru-buru menikah
karena pusing mencari pekerjaan atau karena tidak tahan dengan
lingkungan kerjanya. Kalang kabut mencari pacar ataupun pasangan hidup
karena teman, tetangga, saudara dan orang terdekat mulai menyebar
undangan pernikahan mereka.
Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Rumput tetangga jauh
lebih indah daripada rumput sendiri. Coba tanyakan kepada orang-orang
terdekatmu yang sudah menikah. Apa yang mereka rasakan? Belum tentu
sebahagia ketika pernikahan baru dibayangkan.
Tuhan sudah mengatur hidup kita. Semua adil. Jodoh terbaik kita sudah
dipersiapkannya. Pekerjaan terbaik bisa kita dapatkan asalkan kita mau
berusaha dan berjuang. Jadi, jangan pernah takut menghadapi masa
depan. Masa depan yang indah datang kepada mereka-mereka yang mau
berjuang dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Semangat!!!

Rabu, 02 Februari 2011

better late than never

Bandara Soekarno Hatta
Beberapa jam lagi aku meninggalkan negeri tercintaku ini demi sebuah pekerjaan. Demi sebuah masa depan yang dulu tidak pernah bisa kubayangkan. Fiuh…. bagaimana mungkin, burung kecil yang dulu bersayap lemah itu kini bisa terbang jauh bahkan hingga sejauh ini.
Semuanya berawal dari proses.
Burung kecil akan tumbuh dewasa. Dengan bantuan waktu, sayap-sayapnya yang lemah akan berubah menjadi kokoh. Dengan latihan dan pengalaman terbang yang dimilikinya maka kepakan sayapnya akan mampu membuatnya terbang jauh. Sekali lagi, semua karena proses. Proses panjang membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya lagi. Teringat masa-masa 2 tahun  yang lalu. Masa-masa sebuah kenyataan menyadarkanku. Sebuah penyesalan menghantuiku. Sebuah pengharapan mengajakku berlari. Dan kerja keras harus dimulai saat itu.
“Iya, memang di beberapa perusahaan, interview sudah menggunakan bahasa inggris. Jadi, itu alasan kamu ingin belajar inggris?” Tanya seorang pria yang duduk dihadapanku. Usianya 29 tahun, berperawakan tinggi besar dan masih lajang. Namanya Afrizal, dialah guru privat inggrisku.
Aku menggeleng. “Mmm…iya sih, interview zaman sekarang emang pake bahasa inggris. Dan aku juga pengen dapet kerjaan yang jauh lebih baik kalo bisa bahasa inggris.  Tapi bukan itu alasannya.” Mau nggak mau dan pada akhirnya, kita harus jujur mengakui bahwa dunia kerja akan memandang mereka-mereka yang mempunyai keahlian lebih. Era Globalisasi menuntut setiap orang harus berlomba-lomba memperbaiki kemampuannya. Dia yang giat belajar, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Maka, dialah yang menang.
Mmm.. tapi untuk kali ini. Bukan itu yang aku cari. Bukan itu alasanku bersemangat belajar bahasa inggris.
“Trus kalo gitu apa alasan kamu nggie?” Tanya Pak guruku ingin tahu.
“Aku pengen ngejar cita-cita Mas.”
“Great. Apa cita-cita kamu?” Senyum mengembang dibalik bibir pak guruku.
“Punya pacar bule,”  sahutku apa adanya.
Dia tercengang. Wajahnya membentuk mimik ‘Oh My God’. Dia menepuk keningnya, mungkin pusing sendiri. “Cita-cita lo aneh banget,” lanjutnya sambil tertawa.
Yah, itulah kenyataannya. Seaneh apapun, itulah cita-citaku dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa mendapatkannya. Bahasa Inggris bahasa yang penting, begitu pula untukku. Karena bagaimana aku bisa mendapatkan pacar bule kalo bahasa mereka saja tidak kumengerti.
Saking terobsesinya aku dengan cowok bule, aku jadi mempunyai semacam hobi. Chatting dengan cowok-cowok bule di situs omegle. Tapi karena aku tidak bisa bahasa inggris maka aku selalu mengandalkan google translate (100% kupasrahkan hidupku padanya) untuk memanduku mengobrol dengan orang-orang asing tersebut.
Seperti inilah gaya chattingku kala itu.
Stranger :Hi
Me: Hi
Stranger : ASL (baca: Age, Seks, Location)
Me: 25 F Indonesia. U? (baca: 25, Female, Indonesia)
Stranger : 22 M India
Aku terdiam. India? Sebetulnya dari dulu aku ingin bertanya, apakah dalam kehidupan sehari-hari orang-orang India sama seperti di filmnya. Selalu bernyanyi dibalik pepohonan setiap kali menjalankan aktivitasnya. Ketika jatuh cinta mereka bernyanyi dan menari. Sedang merasakan kesedihan, lagi-lagi bernyanyi dan menari. Ada masalah pun juga demikian.
Berbeda sekali ya dengan orang Indonesia. Setiap kali menghadapi masalah cenderung melarikan diri ke makanan. Masalah belum selesai tapi bentuk tubuh melebar.
Aku mengurungkan niatku untuk bertanya demikian. Bukan karena aku takut untuk bertanya. Tapi ribet menuliskan kata-katanya. Terlalu tinggi buatku. Lebih baik aku bertanya hal lain saja, yang ringan seringan kerupuk kulit.
Me : Do u know Bombay onion?
Stranger : Ya
Me : Do u know bajaj?
Stranger: Ya
Aku masih beruntung kali ini, karena perkenalan akhirnya berlanjut ke Facebook. Tapi coba untuk kasus yang satu ini…
Stranger : Hi
Me : Hi. ASL?
Stranger : 30 M USA. Do u like pussy?
Banyak bintang di atas kepalaku. Pertanda bingung. Pussy artinya apa? Semacam binatang kesukaan kayaknya ( gaya sok tahu). Sebetulnya aku tidak menyukai binatang. Tapi daripada mengecewakan, lebih baik dijawab.
Me : Dog. U?
Stranger : Oh, jesus Christ. What the hell?
Stranger : Pussy itu semacam cat. GBU
Selanjutnya…DISCONECT…
Dia pergi tanpa pesan. Menyedihkan…
Dari kejadian-kejadian itulah, aku memutuskan untuk…. sudah saatnya aku les. Ingin pintar maka harus belajar, begitu kata-kata iklan multivitamin yang pernah aku dengar. Dan demi cita-cita aku mau belajar. SEMANGAT!!!!

“Ok. Kita mulai lesnya dari mana? Dari dasar banget atau dari setinggi ini?” Pak guru Afrizal meletakkan tangannya di lantai lalu meletakkan tangannya 1 meter diatas lantai untuk menunjukkan tingkatan yang akan kami pergunakan untuk memulai sesi pelajaran kami.
“Dari dasar aja,” sahutku mantap.
“Oh my God,” seru Pak Guru tertawa.
Aku juga ikut tertawa. Yah, inilah aku, cewek berusia 25 tahun yang hanya mengerti bahasa betawie saja dalam hidupnya. So what??? Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Seperti buku karya David J Schwartz berjudul The Magic of Thinking Big yang pernah kubaca. Bahwa usia produktif manusia hingga mencapai 60 tahun. Jika sekarang aku berusia 25 tahun, maka aku masih memiliki 35 tahun lagi masa-masa produktif. Dan itu bisa aku pergunakan untuk melakukan banyak hal, bukan? Segala sesuatu tidak pernah terlambat. Usia hanya bilangan angka. Tapi semangat dan kerja keraslah yang pada akhirnya menentukan hasilnya.
“Ok, kalo begitu kita mulai aja ya?” lanjut Pak Guru bersiap memulai pengajarannya.
Akhirnya pelajaran pun dimulai dari tingkatan paling bawah. Dari cara mengucapkan I, you, they, she, he. Awalnya aku kesulitan untuk mengucapkan kata-kata they dan the. Tiap hari aku latihan. Persis orang bodoh. Tapi tidak masalah, segala sesuatu ada prosesnya. Dan inilah proses yang harus aku hadapi. Bukankah untuk menjadi kupu-kupu yang indah, ulat harus melewati beberapa tahapan terlebih dahulu?
Latihan membuat sempurna. Itu mungkin yang aku alami juga. Aku pun berhasil mendapatkan kata-kata great dan good dari pak guru setelah berhasil mengucapkan kata-kata tersebut.
Satu tahun aku belajar bahasa inggris. 1 hal yang aku sadari sekarang. Ketika kita menyukai segala sesuatu yang kita kerjakan… maka segala sesuatunya akan terasa lebih ringan. Dulu ketika sekolah, aku membenci pelajaran yang sekarang mulai kusukai ini. Setiap pelajaran ini datang, ingin rasanya aku kabur dan pergi sejauh-jauhnya dari kelas dan sekarang aku sesali itu. Kenapa aku sia-siakan kesempatan dari tuhan waktu itu? Bukankah banyak anak diluaran sana yang ingin bisa sekolah tapi kesempatannya tidak ada. Sesuatu akan sangat berguna dan berharga ketika kita memerlukannya. Dan itulah yang aku alami saat ini. Aku haus dan butuh sesuatu hal yang dulu pernah kubuang.
Hidup harus tetap berjalan. Maafkan segala masa lalu kita demi masa depan yang jauh lebih baik, itu kata Pak guru. Maafkan, maafkan saja masa laluku, dimana pada saat itu aku pernah menyia-nyiakan kesempatan yang datang padaku. Dan aku benar-benar berusaha memaafkannya walaupun itu susah.


Mimpiku pun terwujud. Akhirnya, aku berhasil memiliki pacar bule. Namanya Damian, kewarganegaraan Prancis. Sepupuku yang mengenalkanku padanya. Sepupuku adalah teman 1 kerja Damian. Yang aku lihat dari sosok Damian adalah orang yang baik, ramah, pintar, romantis dan satu lagi yang sayang dilewatkan, dia GANTENG. Yippie..keturunanku pasti hasilnya nanti bagus. Aku bersorak bahagia, hasil belajar bahasa inggris membuahkan hasil.
Tapi, aku kurang beruntung dalam hal ini. Itu semua tidak berlangsung lama. Aku merasa ada yang aneh dari dalam diri Damian. Aku merasa hanya dijadikan topeng. Kamuflase. Aku curiga dia menyukai sepupuku. Beberapa kali aku melihatnya menatap sepupuku dengan pandangan berbeda. Penuh cinta. Dan ketika aku sedang mengobrol dengannya bahan pembicaraan kami cenderung terarah kepada sepupuku itu. 
Ternyata aku tidak pernah berarti dihatinya.
Aku terhempas. Hatiku sakit ketika menyadari Damian seorang Gay. Dia menyukai sepupuku. Demi menutupi perasaannya itu, dia berpura-pura menyukaiku. Berbulan-bulan aku melupakan sakit hatiku ini dengan terus bekerja. Aku sudah tidak tahu lagi kabar mengenai Damian. Tapi yang aku dengar Damian sudah kembali ke negaranya. Hatinya hancur  karena sepupuku menolaknya.
Hhhh…tidak peduli dari mana negaranya, semua cowok pada dasarnya sama. Mudah menyakiti hati perempuan. Cowok lokal atau impor sama saja. Seharusnya dari hati kita menilainya. Don’t judge by a cover, itu benar adanya.
Aku tidak pernah menyesal sudah belajar bahasa inggris, karena semua ilmu pasti berguna. Ilmu tidak akan pernah habis digerus waktu. Mungkin aku tidak berhasil mendapatkan pacar bule, tapi berkat kemampuan bahasa inggris yang kumiliki, aku mendapat tawaran pekerjaan yang bagus sekarang. Sofitel Goal Coast Broadbeach adalah nama Hotel di Queensland, Australia yang menarikku kesana. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini pada dasarnya indah. Tergantung dari mana kita memandang dan menyikapinya.

                                                            ***