Jumat, 21 Juni 2013

Terima Kasihku...

Terima kasihku, kepada Sang Pemilik Semesta, karena memberiku kesempatan untuk hidup di dalamnya. Menjalani hiruk pikuk dunia beserta kemudahan dan kesulitannya….

Terima kasihku kepada kesabaran yang mengajarkanku bahwa sabar itu adalah proses yang sulit untuk dijalani. Tidak mudah, tetapi indah apabila berhasil dilalui….

 Terima kasihku kepada perjuangan, yang mengajariku dan mengenalkanku pada arti kata kerja keras,  yang selalu mahal tapi tidak pernah menjadi sia-sia….

Terima kasihku kepada air mata, yang selalu setia mendampingiku disaat-saat kelam dan tak berpengharapan dalam hidupku…

Terima kasihku kepada para mantanku, yang mengajariku bahwa cinta tak melulu indah. Dan karenanyalah aku berani membuka mata untuk menghadapi dunia…

Terima kasihku pada para sahabat, yang selalu hadir dalam sisi terbaik maupun terburuk dalam hidupku. Dan selalu setia di dalamnya…

Terima kasihku kepada keluarga terkasih, karena senyuman merekalah yang membuatku bersemangat dalam mengejar mimpi yang seakan selalu berlari menjauhiku…

Dan yang terakhir, terima kasihku kepada sang waktu, yang  hanya menginginkanku menunggu. Untuk pada akhirnya kutahu apa maksud dibalik Sang Pemilik Semesta memberikanku jalan berliku.

Jumat, 14 Juni 2013

Kita Semua Bisa

        “Gue pengen cerita tentang bagian dalam hidup gue ke kalian. Pergumulan gue. Tapi gue deg-degan banget nih. Kalian bakalan shock nggak ya?” Suara laki-laki dihadapanku itu terdengar ragu walaupun ada senyuman dibaliknya.
       Aku dan Lintang  tersenyum menunggu. Merasa deg-degan jadinya. Sebetulnya aku tahu arah pembicaraannya, tapi aku memilih untuk menunggu. Kubiarkan Tama, nama laki-laki itu yang menyelesaikan kalimatnya sendiri. Tidak perlu dipaksakan dan biarkan mengalir dengan sendirinya.
       “Gue Gay.” Aku bergeming. Tepat seperti dugaanku. “Iya, gue gay. Kalian masih mau terima gue kan?” Oh no, sedih rasanya mendengar pertanyaannya itu. Ingin rasanya aku memeluknya saat itu juga, tapi aku bukanlah tipe orang yang bisa mengekspresikan segala sesuatunya dengan sentuhan dan tindakan. Aku lebih nyaman dengan cara ini, lewat tulisan.
       Laki-laki dihadapanku itu tersenyum. Untuk pertama kalinya aku melihatnya tidak percaya-diri seperti ini, baru kali ini aku melihat ada sebuah kebimbangan dalam dirinya.
       Dulu kami bertiga adalah teman di masa Sekolah Menengah Pertama, lalu waktu membuat kami terpisah untuk jangka waktu yang lama. Tidak ada komunikasi setelah lulus SMP itu. Kami meneruskan pendidikan kami di bangku SMA yang berbeda. Lulus dari bangku SMA kehidupan membawa kami kepada jalan yang berbeda. Aku menjadi pengangguran berat karena idealisme ku yang ingin menjadi penulis hebat.  Tapi terpaksa gigit jari karena kemampuan tidak mencukupi. Kuputuskan untuk banting stir, melupakan mimpiku dan mulai mengabdikan diri untuk bekerja dengan orang lain.
      Lulus SMA Lintang memutuskan untuk menikah, memiliki 2 orang anak dan mendedikasikan waktunya untuk menjadi Ibu Rumah Tangga.
        Lalu bagaimana dengan Tama?
       Jalan hidupnya berliku. Tapi sayangnya, aku dan Lintang tidak diizinkan Tuhan untuk menjadi saksi bahkan penolong baginya di masa-masa sulitnya itu.Kami baru dipertemukan kembali setelah belasan tahun lewat. Setelah waktu membantu kami menjadi pribadi yang lebih dewasa. Dengan fisik yang jauh lebih tua juga pastinya.
       Jalan hidup Tama diawali dari kepergiannya dari rumah karena permasalahan dalam keluarganya. Dia baru menyadari status dalam keluarganya yang ternyata bukanlah anak kandung dari orang tua yang membesarkannya selama ini. Ada guncangan hebat dari dirinya ketika menyadari itu. Dia dididik ditengah-tengah keluarga berada lalu tiba-tiba menyadari bahwa asal usulnya berasal dari keluarga yang biasa saja. Dia marah, dia kecewa, dia berontak, menjadi sulit diatur dan memutuskan pergi dari rumah, zona amannya selama ini.
       Tanpa pekerjaan, tanpa tempat tinggal, dan tanpa siapapun yang membantu dia nekat meneruskan hidupnya. Kehidupan kota Jakarta yang keras memaksanya menjual diri kepada siapa saja laki-laki yang mau membayarnya kala itu (sedih hatiku ketika harus menuliskan bagian ini. Dan perlu diketahui…pada saat itu Tama sudah menyadari bahwa orientasi seksnya berbeda). Dia tidak mempunyai pilihan lain. Dia terpaksa. Dan kalaupun waktu bisa diputar kembali dia tidak mau mengulangi kesalahannya yang satu ini. Dia menyesali atas apa yang sudah terjadi. Itu adalah titik terkelam dalam hidup yang pernah dilaluinya. Dan sekali lagi…dia-sangat-terpaksa…
        Hari-harinya begitu sulit kala itu. Segala cibiran, penghinaan, penolakan semua pernah dirasakannya. Orang-orang yang dulu adalah teman, sahabat dan keluarga perlahan-lahan pergi meninggalkannya.
        Dari titik nol itulah, dengan terseok-seok dia berusaha untuk bangkit. Mengawali karier sebagai Sales Promotion Boy dia pun mulai meningkatkan kemampuan dengan mengikuti berbagai macam seminar di bidang marketing. Hingga akhirnya diusia 24 tahun dia berhasil menjadi Dep Head Trainer Exc dan satu-satunya orang yang bisa berada pada posisi itu dengan pendidikan yang hanya setamat SMA saja. Tama yang awalnya biasa digaji 900 ribu kini bisa mencapai 15 juta di posisi itu. Betapa hebatnya seorang Tama. Semuanya berawal dari kerja keras, mimpi dan semangat yang tidak pernah padam untuk belajar.
        Mimpi seorang Tama waktu itu adalah menjadi seorang eksekutif muda yang tinggal di apartement, naik turun mobil dengan supir + dandanan metroseksual. Apapun halangannya dia kejar itu. Dan setelah semua dia dapat, dia tetap tidak pernah berhenti untuk terus belajar.
        Menjadi seorang Dep Head Trainer Exc ternyata tidak cukup baginya. Dia memiliki gaji besar  tapi  tidak memiliki tabungan. Semakin besar pemasukan seseorang maka semakin besar juga pengeluarannya. Itu betul. Tama pun mulai berpikir keras, apalagi yang bisa dilakukannya. Dia memutuskan untuk keluar dari zona amannya. Berhenti bekerja dan memulai untuk berbisnis. Bisnis telur ayam adalah pilihannya pada saat itu. Tapi gagal, karena banyak kendala. Telur pecah dan telur busuk sebelum sampai ke depo adalah PR yang harus diselesaikannya setiap harinya. Dia mencoba peruntungan di peternakan ayam, peternakan ikan, bisnis baju muslim dan lain sebagainya. Lagi-lagi gagal.
       Sisa uang di tabungannya mulai menipis. Dia mulai bingung harus membuat bisnis apalagi, semua sudah dicobanya tapi keberuntungan masih belum berpihak kepadanya.
        Hingga suatu hari, dia ingin membeli sebuah dompet yang bisa diisi untuk 2 HP. Dia cari di toko online. Dia dapat dengan harga 150 ribu. Merasa penasaran dia cari kemana-mana sumber barang tersebut. Tanpa sengaja dia bertemu salah seorang teman yang kakaknya memiliki konveksi dompet dan hanya berharga 50 ribu saja. Dia coba menawarkannya ke toko-toko di Jakarta hingga daerah. Merasa tidak mau berhenti sampai disitu saja, dia pun memutuskan untuk belajar ke negeri Cina ketika tabungan mulai mencukupi. Dia belajar langsung dari importir-importir disana.
        Tama pun bisa menjadi seorang yang sukses sekarang. Berawal dari nol. Berawal dari masa-masa sulit. Dia tidak mau menyerah begitu saja pada keadaan.  “Nggak bisa instan apa yang lo mau bisa langsung lo dapetin. Nggak bisa gitu, semua harus ada prosesnya. Dan kalo lo udah dapet apa yang lo mau, lo jangan langsung puas. Coba lagi hal yang baru, mulai lagi dari nol. Terus dan terus. Lo mau ngebantu keluarga juga kan? Nah kalo gitu, sekarang mikirnya jadi gini, kalo gue males-malesan boro-boro gue bisa menjamin hidup mama, papa dan ade-ade gue, itu yang harus selalu lo tanemin dalam hati lo. Pokoknya inget 3 hal, belajar, usaha dan berdoa. Lo belajar tapi lo ga mau berusaha sama aja bohong. Lo belajar, udah usaha juga tapi lo ga berdoa dan minta sama Tuhan itu juga jadinya sia-sia. Jangan pernah takut. Hajar terus apa aja yang ada di depan mata. Lo punya mimpi jadi penulis, kejar itu. Belajar dan belajar. Jangan nyerah gitu aja. Gue aja bisa, masa lo enggak.” Itu kalimat yang tidak akan pernah bisa aku lupakan dari seorang Tama. Dan akan selalu kuingat sampai kapanpun. Bahwa mimpi harus dikejar, diusahakan dan dipelajari, bukan hanya dengan bermimpi dan berdiam diri saja. Karena mimpi tetaplah akan menjadi mimpi jika tidak ada keinginan untuk mewujudkannya.    
        “Sekarang masalah terbesar lo kan udah berhasil lo lewatin Tam. Udah lebih lega ngejalaninnya” ujar Lintang setelah sekian lama hanya terdiam mendengarkan cerita Tama mengenai perjuangannya dulu.
        “Siapa bilang?” sahut Tama bergantian menatapku dan Lintang. “Gue masih punya pergumulan dalam hidup gue.” Dia terdiam sebentar. “Keluarga gue ada yang belum terima keadaan gue. Mereka belum bisa terima orientasi seks gue. Dan gue masih belum tau sampai kapan mau begini.”
       Tama pun bercerita bahwa dari semenjak masih duduk di bangku TK dia sudah menyadari perbedaan dalam dirinya. Dia bisa membedakan mana cowok ganteng dan tidak. Dia sudah mempunyai gebetan yang notabennya cowok pada masa itu. Dia memang sudah berbeda semenjak dini. Tama bilang homoseksual itu dipengaruhi oleh faktor genetik.
        Aku pernah membaca buku shit happens milik Christian Simamora, dan aku juga pernah membaca dari internet juga bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki kadar testoteron (untuk laki-laki) dan estrogen (untuk wanita) dalam diri mereka, tapi berbeda-beda besarnya kadar yang dimilikinya. Seorang heteroseksual memiliki skala 1-3, biseksual menempati 4-7, sedangkan 8-10 ditempati homoseksual. 
       Aku juga punya kadar estrogen, kalian semua juga pasti punya. Aku juga sering mengagumi cewek lain, yang lebih cantik, yang terlihat pintar, anggun dan lembut. Dulu aku sempat takut akan hal itu, kupikir aku memiliki orientasi yang berbeda untuk menyukai sesama jenis, tapi dengan berjalannya waktu aku menjadi tahu bahwa itu hal yang lumrah, selama kadarnya masih dibawah point 3 .
        Dalam hal ini, aku tidak mengatakan ini salah atau benar, baik atau buruk. Karena aku hanyalah manusia biasa yang tidak pantas untuk menghakimi sesama manusia lainnya. Aku tidak melihat ini dari sudut pandang manapun, baik agama atau pun sosial. Karena kalau melihat 2 hal itu, maka keadaan ini akan selalu dianggap salah. Aku melihat dan menilai ini dari sudut pandang seorang sahabat. Bahwa sahabat yang baik adalah sahabat yang tanpa tapi. Sahabat yang tidak melihat kondisi, yang masih bisa tetap saling berpegangan tangan, saling memeluk, saling menguatkan, saling menjaga apapun keadaan yang terjadi diluaran sana. Dan apapun yang terjadi, Tama tetaplah Tama, tetap teman, sahabat, saudaraku yang tidak pantas untuk dihakimi / pun ditinggalkan setelah pengakuan itu terucap dari bibirnya. Tidak ada yang berubah Tam, lo tetep sahabat kami, apapun itu. We love u…
        Dan point dari cerita ini adalah, bahwa setiap manusia memiliki masalah, memiliki kekurangan atau apapun itu yang menimbulkan pro dan kontra. Jangan melihat mereka dari segi itu, tapi lihatlah hal apa yang bisa dia berikan dan bagikan untuk orang-orang yang ada disekitarnya. Dari Tama aku belajar untuk tidak menyerah, tidak pernah lagi menganggap diri paling menderita, tidak beruntung dan memiliki masalah paling besar sedunia. Masalah itu untuk dihadapi dan diselesaikan. Karena ada banyak orang diluaran sana yang berhasil menjadi orang-orang hebat setelah berhasil melewati masalah terbesar dalam hidupnya. Dan itu bukan hanya Tama saja, ada banyak sekali. Lihatlah seorang Thomas Alfa Edison, dianggap bodoh dan tuli oleh gurunya, tapi dia bisa menemukan lampu dimasanya? Lalu Mestre Naruto “Masashi kisimoto”, dulu dia sama sekali tidak bisa menggambar, hasil karyanya selalu ditertawakan orang. Tapi lihat sekarang? Siapa yang tidak mengenal komik Naruto? Lalu Jacob Barnett, anak auitis dengan IQ 170, melebihi Einstein. Setiap hari dia bekerja keras mengalahkan autisme yang dideritanya. Dan kini, di usia yang masih sangat belia Jacob telah menjadi Mahasiswa Master dan berusaha mendapatkan gelar PhD dalam bidang fisika Quantum. Dan kabarnya dia digadang-gadangkan akan memenangkan Nobel suatu hari nanti.
See...tidak ada yang tidak mungkin kan? Semua mungkin. Mereka semua bisa. Kamu pasti bisa, kita semua bisa dan akupun juga bisa :)
  






Kamis, 06 Juni 2013

Fans dan Idolanya

Semua orang pasti punya Idola. Tentu saja. Tidak mungkin tidak. Entah itu idola dalam bidang olahraga, politik, kuliner, entertainment dan lain sebagainya.
Aku pun juga punya. Aku mengidolakan salah satu aktris di negeri ini. Begitu mengidolainya. Bahkan aku jadi punya hobby baru sekarang, stalking twitter idolaku itu. Awalnya sih aku tidak menyukai sosok yang pada akhirnya kuidolai ini. Entah kenapa aku menjadi tertarik untuk mengikuti timeline twitternya waktu itu. Dari sanalah aku jatuh cinta kepadanya. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos, asal dan lucu itulah yang membuatku jadi mengidolakannya sekarang. Banyak yang membencinya karena gayanya itu, tapi aku tidak peduli. Aku mengidolakannya. Tidak peduli yang lain. Titik.
Sama seperti seorang penggemar pada umumnya yang selalu ingin dekat dengan idolanya, yang ingin diperhatikan, ingin diutamakan dan dianggap ada. Aku juga begitu. Aku iri dengan orang-orang lainnya yang mentionnya selalu mendapat balasan. Berbeda denganku, sepertinya mention-mentionku tenggelam begitu saja, tidak terlihat diantara puluhan, ratusan atau mungkin ribuan mention dari semua penjuru yang ditujukan ke 1 orang yang sama itu.
Kecewa? Pasti, ga munafik kok. Tapi bukan sesuatu yang besar buatku. Tidak sampai membuatku ngamuk-ngamuk dan mencaci maki dirinya.
Semakin mengikuti timeline nya, semakin aku tahu bahwa tidak sedikit juga yang memiliki nasib yang sama denganku. Banyak juga ternyata yang mentionnya tidak dibalas. Beberapa diantaranya menerima dengan lapang dada (sama seperti aku), tapi ada juga yang menunjukkan sikapnya dengan cara yang negatif. Memaksa dan membuat idolaku itu menjadi jengah.
Kucoba merenung dan memutar keadaan. Kubayangkan diriku apabila berada di posisi idolaku itu. Kupikir tidak mungkin juga membalas mention yang masuk ke akun twitterku yang jumlahnya bisa puluhan, ratusan atau bahkan ribuan setiap harinya. Niat hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Aku memiliki keterbatasan.
Jika aku seorang idola, maka sama halnya dengan manusia lainnya. Aku juga memiliki rasa lelah. Setelah seharian bekerja dengan jadwal yang padat (syuting, pemotretan, datang ke1 acara ke acara lainnya), aku juga pasti memerlukan waktu istirahat. Diantara rasa lelahku, mungkin aku masih bisa meladeni 1, 2, 3 fansku pada saat itu. Tapi kalau ratusan, ribuan hingga jutaan? Sekali lagi....aku mempunyai keterbatasan.
"masih banyak ya yg gak tau bahwa minta follow balik itu sgt mengganggy bila timeline Anda tdk sejalan dgn minat org? Emangnya friendster..." demikian tweet Reza Gunawan, seorang praktisi kesehatan holistik, sekaligus suami dari novelis Dee Lestari ini.
Aku tercenung. Sedemikian mengganggunya kah kata-kata folbek untuk para idola itu? Aku merenungkan kembali kalimat tadi dan berusaha membayangkan. Kupikir betul juga. Aku malah menjadi ingin bertanya kepada mereka-mereka yang merasa PD meminta folbek dari idolanya itu, apakah timeline kalian cukup hebat untuk dibaca para idola itu? Jangan sampai ya isinya hanya seputar kegalauan kalian saja. Jika isinya cukup worth it untuk dibaca maka tidak jadi masalahnya, namun jika sebaliknya, maka jangan berharap banyak ya. 
Karena bayangkan saja jika kalian berada diposisi mereka, memiliki fans yang jumlahnya gila-gilaan dan semuanya meminta folbek dari kalian. Kalau isi timeline kalian cukup oke sih masih fine-fine saja, tapi kalau hanya sekedar anak alay yang sedang labil dan butuh perhatian (kalau kata idolaku sih istilahnya fakir perhatian, hahaha), ooowww bagaimana kondisi mata dan hati kalian setiap kali membuka twitter?
Dari sinilah pada akhirnya aku menjadi paham dan merasa kasihan dengan para idola itu. Mereka manusia biasa, pernah lelah, pernah sakit, memiliki keterbatasan tapi harus tetap terlihat sempurna setiap saat. Bayangkan itu. Kalau aku sih tidak akan pernah sanggup. Nah kalau kalian?