Sabtu, 06 Juli 2013

Everything start from a dream

Kejarlah cita-citamu hingga ke negeri Cina. Gantungkanlah cita-citamu hingga setinggi atap langit. Kita sering mendengar kalimat tersebut diucapkan di mana-mana. Tapi buatku kalimat tersebut tidak pernah berarti apa-apa. Hanya sebuah kalimat biasa tanpa ada pengaruhnya dalam kehidupanku. Tidak menjadi pencambukku untuk mengejar cita-cita sampai ke Cina apalagi terbang  hingga ke atas langit sana.
Ayahku seorang penulis, dulunya. Tapi sudah belasan tahun ini ia menggantungkan penanya, tidak lagi mengais rezeki dari bidang, dari keahlian yang pada akhirnya diturunkannya padaku itu. “Zaman sekarang saingannya berat kalo mau buat sinetron,” Begitu ucapan ayahku kala itu. PH (Production House) yang menaungi ayahku hanyalah PH kecil, PH yg baru merintis sehingga rasanya sulit sekali harus bersaing dengan PH-PH besar lainnya. Jadilah PH tempat ayahku mengabdi itu tutup. Semenjak itu ayahku bekerja serabutan, apa saja yang penting bisa mencukupi kebutuhan, yang penting dapur ngebul, begitu biasa orang bilang.
Sedari kecil, walaupun ayahku adalah penulis dan beliau selalu mendukung hobiku tersebut tapi selalu ada sekat, penghalang buatku untuk terus belajar dan mengembangkan hobiku itu.
Kenapa?
Karena kehidupan keluargaku biasa-biasa saja sedari dulu, sehingga untuk membeli 1 buah novel saja rasanya sayang sekali “lebih baik untuk membeli pakaian dan makanan,” ujar ibuku kala itu. Aku tak selalu mendengarkan ucapan ibuku itu, ada kalanya aku tetap membeli novel kesukaanku, tapi itu tak selalu.
Sempat aku menyalahkan ibuku walaupun pada akhirnya aku mengerti mengapa ibuku berlaku demikian. Berbeda dengan ayah yang suka membaca. Ibu adalah ibu rumah tangga biasa yang selalu berpikiran sederhana, bahwa membeli buku sama saja dengan membuang uang. Membeli sekumpulan kertas yang hanya bisa dibaca sebentar saja lantas disimpan. Aku mengerti jalan pikiran ibuku yang sederhana itu dan aku tidak menyalahkannya.
Tapi…  Aku menyalahkan keadaan. Aku ingin belajar banyak hal tapi kesempatan itu tidak pernah ada. Mengapa keadaan tidak pernah mengerti kebutuhanku?
 Aku ingin seperti anak-anak lainnya yang memiliki kesempatan untuk belajar banyak hal dan bisa menjadi manusia berguna dikemudian hari. Tapi mana kesempatan itu? Mana? Apakah kesempatan hanya datang kepada mereka-mereka yang berada, yang mampu membeli ini dan itu tanpa harus bersusah payah. Apakah demikian??  Mengapa tidak adilnya Tuhan padaku?
Aku memiliki idealisme untuk menajdi penulis hebat. Tapi pada akhirnya aku menyerah, aku lelah. Susah payah aku membuat novel, kuselesaikan dengan segala keterbatasan dengan segala perjuangan. Tapi mana? Tidak ada penerbit yang mau menerimanya. Mungkin lembaran novelku itu dibuang begitu saja oleh para penerbit itu untuk kemudian jatuh ke tangan tukang loak. Mendarat di tukang sayur untuk membungkus cabai dan bawang yang biasa kalian beli di sana. Dan yang terakhir, lembaran naskah novelku itu pun terlempar di suatu tempat yang bau dan kotor, berbaur dengan sampah-sampah lainnya di bandar gebang. Miris. Sesuatu yang kuanggap berharga hanya akan menjadi tumpukan sampah pada akhirnya.
Aku sempat marah kala itu. Marah pada penerbit. Marah pada keadaan. Dan marah pada Tuhan.
Hingga lelahnya segala kekecewaanku itu kupendam, kubuang mimpi-mimpiku dulu. Cukup kuhabiskan waktu untuk sebuah idealisme yang hanya omong kosong itu. Kubuang waktuku hanya untuk mimpi-mimpi yang malah menjadikanku semakin tidak berguna. Pengangguran berat, yang biasa direndahkan dan diolok-olok orang karena title pengangguran yang  sempat kusandang hingga 3 tahun lamanya. Cukup. Maaf jika aku harus menyerah kala itu….  
Bertahun-tahun kulupakan mimpiku, aku bekerja apa saja yang penting bekerja. Yang penting tidak menganggur di rumah, tidak jadi bahan gossip para tetangga yang sepertinya selalu haus akan gossip dan gossip itu. Ya…memang begitu kan aturan tinggal di Indonesia ini. Masyarakatnya akan lebih memandang orang-orang yang terlihat kuliah walaupun pada kenyataannya dia mempunyai gelar mahasiswa abadi di kampusnya daripada seorang pengangguran sepertiku.   
Bertahun-tahun aku tidak lagi bergumul dengan penaku. Kugantung diatas sana, entah kapan kuambil lagi untuk menorehkan langit-langitku yang sudah lama redup itu.
Semenjak sibuk bekerja aku memang tidak pernah menulis lagi. Segala sesauatunya kubiarkan tumpul. Rasa malas menguasai hati, tubuh dan otakku. Aku tidak pernah menghasilkan sesuatu lagi sejak saat itu.
Tapi ternyata aku salah. Aku tidak pernah menyadari bahwa panggilan hati yang bernama idealisme itu tidak benar-benar mati.  Dia masih hidup dan semakin hidup. Semakin berkecamuk dalam dada, mencoba berontak dari tempatnya yang selama ini kututup rapat.
Tantangan membuat cerpen itulah awal mulanya. Ya…aku mendapat tantangan itu dari salah satu guruku. Kuambil tantangan itu dan kukerjakan sepenuh hati. Hasilnya lumayan, tidak mengecewakan. Aku mendapat sanjungan. Dari situlah, aku mengetahui bagaimana cara menulis yang benar. Sedikit-sedikit aku pun belajar sesuatu.
Tantangan itu pun datang lagi. Membuat cerita tentang jalan hidup temanku. Sebetulnya itu bukan tantangan, tapi permintaan seorang teman, sahabat tepatnya yang meminta kisah hidupnya dapat kuangkat ke dalam cerpen. Aku sangat antusias. Jalan hidupnya yang berliku kuyakin akan menginspirasi banyak orang apabila kutuangkan ke dalam tulisan. Semoga saja…  
Kuambil tantangan itu, dan lagi-lagi kukerjakan dengan sepenuh hati. Hasilnya, lumayan. Dan cukup membuatku kembali memiliki semangat dalam menulis.
Entah dari mana asal muasalnya. Mungkin ini kiriman Tuhan, sebut saja si kesempatan yang selalu kunanti selama ini atau ini semacam kebetulan. Pagi itu, iseng-iseng kubuka blog ku, iseng-iseng juga kuedit profilnya. Ada penambahan di bagian musik dan buku yang menjadi kesukaanku. Lalu, berbekal iseng dan ingin belajar juga, kutambah daftar buku yang ingin kubaca…ditambahkan blog milik dewi lestari dan raditya dika disana.
Keesokan harinya, kubuka blog ku dan tanpa sengaja aku melihat info itu, workshop intensif yang diadakan raditya dika.
Wah…ini kesempatan pikirku. Kulihat tanggal pelaksanannya. Jatuh pada hari Kamis. Cocok dengan jadwal liburku yang hanya mendapat libur di hari Kamis saja itu. 2 kali wah kali ini. Kulihat materinya, menggiurkan….3 kali wah kutambahkan. Ini kesempatan langka. Amat sangat langka. Harga yang ditawarkan Rp 850.000 untuk waktu 1 hari saja. Mmmm…aku berpikir sebentar. Tidak ada kata wah kali ini. Mahal ya. Tapi untuk sebuah ilmu tidak ada kata mahal. Ini kesempatanku bertemu penulis berbakat dan hebat. Mendapat ilmu dan juga teman baru. Oke…tunggu apalagi?
Kutanya pendapat semua sahabat-sahabatku. 3 yess dari 3 orang yang berbeda. Lanjut!!!
Kutanya pendapat keluargaku. Kakakku menentang dan mencibir “Ya udah sana, jadi penulis sana.” Hanya sepenggal kalimat, tapi cukup membuatku menangis tersedu-sedu malam itu. Ibuku menghampiriku yang sedang menangis di atas tempat tidurku. Dari belakang, beliau memelukku dan berujar “Kamu marah sama mama ya nduk (panggilan kesayangan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa)”. Aku semakin menangis. Aku sedih mendengar ucapan ibuku, ada perasaan bersalah yang tergurat dari balik ucapannya tadi. Perasaan bersalah seorang ibu yang tidak bisa berbuat banyak dalam membantu anaknya dalam mengejar mimpinya.
Apakah aku berdosa kali ini, demi sebuah mimpi kukorbankan kepentingan keluargaku. Untuk keluarga kami uang Rp 850.000 itu bukan jumlah uang yang kecil. Uang sebesar itu seharusnya bisa dipergunakan untuk makan ataupun sebagai tambahan untuk membayar uang gedung sekolah adikku. Ya…adikku yang baru duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama itu masih membutuhkan biaya yang banyak.
Ada 2 sisi yang berbicara dalam hatiku kini. Sisi baik dan sisi egois.
Sisi egois berbicara :
“Aku bayar pakai uangku sendiri kan? Kapan lagi aku bisa mengejar mimpiku kalau bukan sekarang? Dulu semua mimpi aku pendam begitu saja karena aku belum bekerja. Tapi sekarang? Kalau bukan aku sendiri yang berusaha untuk mengejarnya, lantas siapa lagi?”
Sisi baik pun berbisik :
“Inget kamu masih punya adik yang masih sekolah. Masih perlu biaya banyak. Apa kamu tega demi mimpi-mimpimu kamu korbankan adikmu bahkan keluargamu?”
Hatiku berteriak. Dia berontak. Kenapa harus sesulit ini.
Ini kesempatan langka untukku. Kalau tidak sekarang maka kapan lagi? Kutunggu kesempatan ini bertahun-tahun lamanya. Kali ini aku tidak mau melewatkannya lagi. Ya…aku tidak mau melewatkannya lagi. Apapun itu, dengan cara apapun itu, aku harus ikut workshop ini. Harus. Tidak peduli bagaimana sulitnya.  
Dengan segala keterbatasan dan janji bahwa ini tidak akan menjadi sia-sia. Pengorbanan keluargaku harus membawa hasil suatu saat nanti. Aku janji. Maka aku pun mendaftar workshop tersebut. Kubayarkan DPnya dan kukirimkan identitasku via email. Seminggu kemudian, mimpi itu pun mulai kuhampiri…
Berbekal modal nekat aku berangkat menuju tempat workshop seorang diri. Aku buta daerah tersebut, tapi demi mimpi kucoba meraba-raba. Aku pun sampai disana, mengikuti workshop dengan pembicara hebat dan teman-teman baru yang semuanya hebat.
Dan mulai hari itu pun aku berjanji, tidak akan pernah lagi menyerah pada keadaan. Secuil apapun itu kesempatan yang diberikan Tuhan apabila memungkinkanku untuk belajar maka aku akan mengambilnya. Keadaan bukanlah alasan untuk kita mudah menyerah dan berdiam diri hingga tidak berbuat apa-apa apalagi menjadi manusia-manusia tanpa mimpi. Tetapi tunjukanlah kepada dunia bahwa dengan segala keterbatasan yang kita miliki, kita akan berjuang lebih keras, berkali-kali lipat hingga mimpi-mimpi tersebut bukan lagi sebuah angan-angan melainkan sebuah kenyataan yang dapat menginspirasi jutaan manusia di luar sana.
Dan manusia-manusia penuh mimpi tersebut, antara lain :

             


Nick vujicic, seorang pria yang lahir tanpa  2 lengan dan 2 kaki. Sempat mendapatkan penolakan dan ejekan dari teman-temannya hingga di usia 8 tahun dia sempat ingin mengakhiri hidupnya. Untuk meraih mimpinya, Nick belajar dengan tekun hingga di usia 21 tahun dia meraih gelar Sarjana Ekonomi bidang Akuntansi.  Dia juga mengembangkan lembaga non-profit “Life Without Limbs” yang didirikan pada usia 17 tahun. Kini nick adalah seorang  motivator yang sukses yang sudah berkeliling dunia hingga 24 negara.
“Pada saat itulah, saya menyadari bahwa Tuhan memang menciptakan kita untuk berguna bagi orang lain. Saya memutuskan untuk bersyukur, bukannya marah atas keadaan diri sendiri. Saya juga berharap , suatu saat bisa menjadi seperti pria luar biasa itu-yakni bisa menolong  dan menginspirasi banyak orang!” ujar Nick dalam salah satu wawancaranya.


 

Soichiro Honda, seorang industrialis Jepang (pendiri kerajaan Honda) putra dari pasangan Gihei Honda (seorang tukang besi) dan istrinya Mika. Honda kecil berasal dari keluarga miskin dengan sarana dan prasarana yang terbatas di desanya. Semenjak kecil Honda yang memiliki mimpi yang tinggi ini terbiasa mengamati cara kerja mesin penggiling padi milik ayahnya. Dia memang tidak memiliki kesuksesan  di bidang akademik tapi bakatnya di kelas sains sudah terlihat sejak saat itu. Mengawali pekerjaan sebagai cleaning service di usia 15 tahun, kariernya pun terus menanjak di usia 21 hingga 30 tahun. Sempat mengalami  kegagalan dan kebangkrutan setelah itu, tapi tidak membuat Honda menyerah pada keadaan.
“Orang melihat kesuksesan hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya,” ujarnya.





Tidak ada komentar: